Siapa yang tak kenal BJ Habibie, mantan Presiden RI yang ke tiga? Siapapun saya yakin mengenalnya, apa lagi bagi generasi yang suka teknologi, karena beliaulah satu-satunya Presiden RI yang berlatar belakang teknologi tamatan Jerman!
Bukan bermaksud membandingkan dengan Presiden-presiden lainnya yang memang sudah sama-sama kita kenal. Tapi memang Habibie beda ketimbang Presiden Indonesia yang lainnya, selain budaya demokrasi yang sudah berakar darinya, ada cerita lain dari Habibie untuk dapat dipelajari bagi kita, terutama mahasiswa ketika sedang menuntut ilmu di luar negeri khususnya dan yang kuliah di dalam negeri umumnya.
Habibie adalah tokoh yang sudah dikenal oleh dunia sebelum dia menjadi Presiden, khsususnya dalam bidang teknologi di Eropa, khususnya di Jerman, karena Habibielah satu-satunya orang Indonesia sekaligus orang Asia yang pernah memimpin perusahaan penerbangan di Jerman, bahkan Habibie pernah ditawarkan untuk membangun kedirgantraan di negara tetangga kita,Filipina, tapi beliau menolaknya.
Wah kalau mau ditulis semua prestasi beliau bisa penuh tulisan ini, tapi saya mau melihat Habibie dari sisi lainnya, dari sisi Habibie sebagai manusia sebagaimana adanya dan melihat cinta Habibie pada pujaan hatinya, Hasri Ainun Habibie, yang lebih di kenal dengan panggilan ibu Ainun yang Dokter itu.
Sebuah contoh bagi suami istri lainnya, yang satu Prof Dr di bidang teknik, yang satu Dokter! Lengkaplah keluarga ini, sehingga ketika mereka mulai menapak kehidupan di negara orang, alias merantau di Jerman sudah punya bekal yang cukup!
Tapi anda mungkin tak pernah menyangka, termasuk saya, bahwa pak Habibie ternyata anak yatim! Ya Beliau anak yatim seperti yang digambarkan dalam bukunya setebal 323+XI” Habibie dan Ainun” terbitan PT. THC Mandiri-Jakarta, Indonesia cetakan kedua Desember 2010 di halaman 14 sebagai berikut”… pada tahun 1950 … Ayah kandung saya Alwi Abdul Djalil Habibie meninggal dunia …” Waktu Habibie baru berusia 14 tahun, setingkat anak SMP.
Dan yang lebih saya tak menyangka lagi adalah kisah “penderitaan” anak rantau, ya keluarga pak Habibie saat-saat pertama di di Jerman setelah bersuami istri sungguh memperihatinkan, ini terlihat jelas ketika Ibu Ainun menceritakannya di halaman 18 pada buku yang sama,” hidup mulai terasa agak berat. Berat bukan karena beban pekerjaan di rumah tetapi karena rasa kesendirian… Oberforsbach sebuah desa , kalau mau ke Aachen…. harus naik bis. Bis hanya ada setiap dua jam pagi dan sore hari. ( Ayo siapa yang menyangka pak Habibie naik bis dan tinggal di desa! ketika di Jerman.)
Mari kita lanjutkan cerita dari ibu Ainun:” Hidup terasa sepi sekali, jauh dari keluarga, jauh dari teman-teman, jauh dari segalanya. Tidak ada yang dapat diajak ngobrol ….yang ada hanya suami, tetapi suamipun pulang larut malam.
Ia harus bekerja menyelesaikan promosinya. Penghasilan kami pas-pasan: mendapat setengah gaji seorang diploma ingineur … untuk mendapat penghasilan, suami dengan mencuri-curi waktu bekerja sebagai ahli konstruksi pada pabrik kereta api … kemana-mana naik bis, malah karena kekurangan uang untuk membeli kartu langganan bulanan, dua tiga kali seminggu ia jalan kaki mengambil jalan pintas sejauh lima belas kilometer, sepatunya berlobang-lobang; baru menjelang musim dingin lobangnya ditambal....untuk menghemat, sejauh mungkin semuanya dikerjakan sendiri.(h:19)
Coba siapa yang menyangka bahwa pak Habibiepun naik bis kota! Dan sering jalan kaki sejauh lima kilometer, bukan karena olah raga, tapi keterbatasan uang pada saat itu! Dan yang lebih memperihatikan adalah sepatunya berlobang-lobang… Ayo siapa yang pernah menyangka bahwa pak Habibie sang pendiri PT Dirgantara Indonesia dan mantan Presiden Ri pada masa transisi 1998-1999, ketika awal-awalnya berumah tangga dan hidup di Jerman sampai sepatu berlobang-lobang alias bolong-bolong!
Mari kita lanjutkan” Saya kembali larut malam dan kadang-kadang berjalan kaki karena tidak ada bus lagi atau harus menghemat. Untuk mempersingkat waktu, saya berjalan melalui kuburan. Jikalau hujan dan dingin saya berjalan dengan payung, mantel dan spetu yang diberi alas kertas sebagai alas kaki yang dapat membantu isolasi” (h:20)
Berikutnya ibu Ainun menulis:” Tidak ada uang kecuali untuk membeli mesin jahit. Belinya tentu dengan menyicil, dan karena mesinya mesin Singer yang bagus cicilannya lunas baru satu setengah tahun. Hidup benar-benar prihatin. Hidup benar-benar keras. tetapi ada hikmahnya. Di masa-masa inilah saya belajar untuk hidup berdikari.“(h:21)
Ayo siapa yang menyangka bahwa keluarga pak Habibiepun sempat utang, hanya untuk membeli mesin jahit. Saya tak pernah menduga sebelumnya, yang saya pikir karena beliau ada di Jerman, beliau adalah insinyur dan istrinya seorang dokter maka yang terbayang semuanya akan serba enak.
Ah… ternyata di awal-awal kehidupan berumah tangga hampir sama dengan yang lainnya, oya kebetulan waktu itu Beliau sama dengan mahasiswa lainnya dan belum dikenal di Indonesia, pak Habibie terkenal di Indonesia setelah pulang atau ditarik pulang untuk mengabdi di Indonesia, padahal pak Habibie bukan mendapat bea siswa dari negara!
Ada kebiasaan pak Habibie yang karena begitu banyaknya pekerjaan yang tanganinya, seringakali dimeja kerjanya berantakan! Konon pak Hartopun membiarkan kebiasaan tersebut dan ini terlihat sejak masih di Jerman seperti yang terdapat di halaman 28:” Buku, makalah dan majalah ilmiah saya bawa ke rumah dan bertaburan di lantai atau di tempat tidur.
Ainun tidak pernah merubah letak bahan riset saya yang sering letaknya tersebar di mana-mana. Dan coba lihat lagi. Coretan pada kertas tersebar di atas tempat tidur dan lantai bersama buku-buku dan majalah ilmiah yang sedang saya baca.(h:34) Sebuah pengakuan yang sejujurnya dari seorang Habibie.
Dan untuk mencuci punya cerita lain lagi,” …. membawa cucian besar berkarung-karung naik bis ka Aachen untuk dimasukan mesin cuci sewaan dan di bawa pulang setelah selasai belanja …”(h:39)
Ayo….ibu-ibu mana yang pernah menyangka bahwa ibu Ainun Habibiepun saat awal berumah tangga di Jerman tidak punya mesin cuci, padahal itu sangat penting di negara yang punya empat musim, terutama di musim dingin, karena saat itu matahari jarang muncul, dengan demikian susah menjemur untuk mengeringkan pakaian.
Namun ada yang menarik dari pak Habibie terutama tentang sumpah yang dia ucapkan ketika sakit keras dan ternyata sumpahnya tertulis dalam bentuk puisi berikut ini:
“Sumpahku”Terletang! Jatuh! Perih! Kesal!
Ibu Pertiwi
Engkau pegangan
Dalam perjalanan
Janji Pusaka dan Sakti
Tanah Tumpah daraku makmur dan suci
….
Hancur badan!
Tetap berjalan!
Jiwa Besar dan Suci
Membawa aku PADAMU!(h:41-42)
Coba siapa yang menyangka bahwa pak Habibiepun pernah menulis puisi dan itu dijadikan semacam “sumpah palapa”nya Gajah Mada, yang tak akan makan buah maja, sebelum nusantara bersatu! Dan pak Habibie punya tekad yang sama untuk memajukan Indonesia.
Di lain tempat Habiie menulis…”Banyak yang kagum atas prestasi nyta yang saya tunjukan, namn ada juga beberapa orang yang iri. hanya dengan bekerja keras, saya dapat atasi persaingan menghadapi teman-teman yang berbakat pula.” (h:52)
“Kami bekerja keras dan menikmati tiap detik yang diberikan Allah SWT dengan meletakan jejak yang indah dengan perasaan khusus yang dikalbui oleh cinta yang murni, suci, sejati, sempurna dan abadi. Sehingga semua yang tak mungkin menjadi mungkin. (h: 55).
Nah buku ini boleh dibilang kisah cintanya Habibie terhadap Ainun, sehingga kata “cinta yang murni, suci, sejati, sempurna dan abadi” selalu diulang-ulang Habibie ketika menggambarkan kesetiaan cintanya Ainun.
Jadi biografi cinta Habibie dan Ainun yang dikemas dalam bentuk novel di mulai dari “pandangan pertama” saat di Bandung (1962) sampai pandangan terakhir di Rumah Sakit Muenchen, Jerman ( 2010). Kisah cinta sepanjang 48 tahun terkemas dalam novel yang menarik ini!
Sebenarnya banyak sisi lain yang terungkap dalam buku ini, seperti ketika pak Habibie menangis dan kebingungan mengambil sebuah keputusan, atau saat pak Habibie marah, kalau sudah “katanya” siapapun susah menolaknya! Dan telepati cintanya dengan Ainun, berkomunikasi tanpa suara dan kata-kata. Nah coba siapa yang pernah menyangka kalau pak Habibiepun menangis dan itu di tulis sendiri olehnya!
Iya… siapa yang menyangka pak Habibie, dalam bukunya, menangis saat Ainun sakit dan saat ketika Ainun mendekati ajalnya di Jerman. Ya normal sebagai manusia yag ditinggalkan istri tercintanya, namun itu menjadi suatu catatan bahwa siapapun manusia tanpa pandang mantan Presiden atau bukan, akan sangat manusiawi bila menangis saat ditinggalkan untuk selamanya pada orang yang sangat dicintainya, itulah sisi manusia Habibie apa adanya. Suka dan duka dalam bukunya itu telah “dibuka” habis oleh Habibie sendiri.
Itulah yang saya sebut balajar, ya belajar dari siapapun, apa lagi yang kita pelajari tokoh sebesar Habibie, yang bukan saja di kenal Indonesia, tapi juga dunia, terutaman dibidang teknologi penerbangan, karena sampai saat inipun, saat beliau sudah tak menjadi Presiden, masih terus berkeliling dunia berceramah atau seminar tentang dunia kedirgantaraan.
Indonesia memang membutuhkan “Habibie-hebibie” yang sebanyak-banyaknya, agar Indonesia tak kalah dengan bangsa lain dibidang teknologi khususnya dan pada bidang-bidang lain umumnya.
Sungguh inspiratif..
Oleh Syaripudin Zuhri
0 komentar:
Post a Comment